![]() |
Kantor Kejaksaan Tinggi Maluku Utara |
TERNATE-Silang
sengketa waterboom gate bak bola
salju. Mega proyek yang bergulir sejak 2011 nan silam itu, bagai tak berujung.
Walau dua terdakwa telah menjalani hukuman badan, namun persoalan tersebut
belum selesai.
Tengok saja, pada
Kamis sepekan yang silam, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Jejak Timur Maluku
Utara (JTMU), melakukan aksi protes di halaman Kantor Kejaksaan Tinggi (Kejati)
Maluku Utara (Malut), di Jalan Yacob Mansur Nomor 1, Kelurahan Kampung Pisang,
Kecamatan Ternate Tengah, Kota Ternate. Lembaga berlambang neraca itu dianggap
tebang pilih dalam penanganan kasus waterboom.
Pasalnya, Walikota
Ternate yang diduga turut terlibat dalam perkara yang merugikan negara miliaran
rupiah, itu bagai the untouchable (tak
tersentuh-Red). Padahal, dua terdakwa
yang telah menjalani hukuman kurungan secara jelas telah menyebut adanya
keterlibatan Walikota Ternate, Burhan Abdurahman, dalam pekara ini.
Jadi, jangan heran
bila para aktivis yang tergabung di bawah bendera JTMU ini, merasa tak puas.
Koordinator JTMU, Muhammad M. Adam, bahkan, secara tegas menyatakan kalau-kalau
pihak kejaksaan dan orang nomor satu di Kota Ternate kesan ada main mata.
Sialnya, pernyataan
Adam justru ditepis pihak Kejati Malut. Melalui Asisten Intelijen (Asintel)
Kejati Malut, I Putu Gede Astawa, disampaikan bahwa sang walikota tak terlibat
dalam waterboom gate.
"Jadi dalam amar
putusan Kejagung bernomor 147 PK/PID.SUS/2014, itu betul-betul tak menyebutkan
adanya keterlibat Walikota Ternate saat ini," kata Astawa kepada wartawan,
di ruang kerjanya, Senin (6/1/2020) yang lalu.
Menurutnya, dalam
amar putusan perkara ini tidak ada nama Walikota Ternate. “ Yang ada hanya
dalam isi pertimbangan putusan. Sehingga tidak bisa menjadi acuan hukum,” ujar
Astawa. Karena, lanjut dia, itu hanya sebuah pertimbangan. "Jika itu bunyi
dalam amar putusan atas kejahatan tiga terdakwa dengan Walikota Burhan
Abdurahman baru boleh ditindaklanjuti. Tetapi, itu hanya isi pertimbangan
salinan putusan," ungkapnya.
Lucunya, bagi Astawa,
perkara waterboom telah usai. Astawa
berpendapat bila telah dilakukan pengembalian kerugian negara maka close case (kasus ditutup-Red). “ Uang kerugian negara sebesar
Rp3,3 Miliar sudah di kembalikan, jadi apalagi yang harus dipersoalkan dalam
perkara ini," kata Astawa.
Astawa boleh saja
berpendapat seperti itu. Namun, berbeda dengan Iskandar Joisangadji, yang
justru menganggap statetment Astawa
tak berdasar. Joisangadji yang Dosen Fakultas Hukum di Universitas Muhammadiyah
Malut.
“Pernyataan Asisten
Intel, I Putu Gede Astawa: pertama; ia menyatakan bahwa walikota ternate tidak
disebutkan dalam amar putusan, itu memang benar. dan dia menyatakan hanya ada
dalam pertimbangan putusan hakim, justru disinilah kekeliruannya. Karena, Walikota
Ternate belum diperiksa sebagai tersangka, jadi bagaimana bisa dinyatakan dalam
diktum putusan atau dalam amar
putusan, kalau pun dinyatakan maka hakim juga nanti yang dipersalahkan,” jelas
Joisangadji, Senin (13/01/2020).
Kedua, lanjutnya, kalau
pertimbangan hakim dalam putusan Pengadilan Negeri (PN) Ternate menyatakan
secara bersama-sama, maka harus ditindaklanjuti oleh jaksa selaku aparatur
hukum. Meski hanya sebatas pertimbangan, kata Joisangadji, namun pertimbangan
itu dinyatakan sebagai legal reasoning
hakim yang disebut sebagai racio decidendi.
“ Cara berpikirnya hakim itu kita temukan dalam pertimbangan hakim,” tegasnya.
“Penilaian hakim itu
ada dalam putusan. Dan putusan itu memiliki dua sifat. Yakni orbiter dicta, dan racio decidendi. Nah, racio
decidendi inilah yang ada dalam pertimbangan hakim. Kalaupun dinyatakan
bahwa tidak dapat dijadikan pedoman maka ada keraguan dalam penegakkan hukum,” tutur
Joisangadji yang juga pengacara, itu.
Masih kata
Joisangadji, dengan sikap yang seakan menabrak aturan, maka wajar saja bila publik
mempertanyakan komitmen kejaksaan terhadap penegakan hukum pemberantasan tindak
pidana korupsi.
Lebih tegas lagi Iskandar
Joisangadji menyoal pernyataan Astawa terkait kerugian negara yang telah
dikembalikan maka persoalan dianggap selesai.
“Disinilah saya
melihat kekeliruan jaksa terbesar, jaksa lupa dengan ketegasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Junto UU No. 20 tahun 2001
tentang tindak pidana korupsi. Frasenya berbunyi pengembalian kerugian keuangan
negara/ daerah atau perekonomian negara tidak menghapuskan tuntutan pidana.
Artinya, walaupun ada pengembalian kerugian negara namun proses pidananya tetap
berjalan. Karena ini ketegasan yang ada dalam pasal 4 UU Tipikor. Tidak boleh dimakanai
lebih atau dikurangi,” katanya, menjelaskan.
Bagi Joisangadji,
pernyataan I Gede Putu Astawa sama halnya dengan mencoreng wajah kajaksaan.
“Saya
sendiri heran, kok, bisanya jaksa
berpendapat seperti ini. Cara berhukum seperti ini yang merusak penegakan hukum
kita. Pada kasus ini terpidana kan sudah ada Ade Mustafa dengan Isnain Ibrahim.
Bagaimana bisa ada keterlibatan pihak lain tidak diproses dengan alasan
kerugian negara telah dikembalikan,” ucapnya, getir.
Sekedar diketahui, pengembalian
kerugian negara dalam sebuah perkara yang merugikan negara tak serta-merta
menghapus tuntutan pidana.
“Pengembalian hanya akan dijadikan sebagai faktor
meringankan. Statement ini justru
membuat jaksa tergelincir alias blunder,” cetus Joisangadji.
Pertimbangan hakim,
kata dia, merupakan penilaian yang didasarkan pada fakta persidangan. “Bagaimana
bisa ini merupakan pertimbangan atas fakta persidangan tapi diabaikan begitu
saja oleh jaksa. Mestinya, ini menjadi rujukan untuk dilakukan proses
pemeriksaan karena telah dinyatakan dalam pertimbangan hakim,” tutupnya. (tim)