![]() |
Istimewa |
Isi dari poin 2 (d) Maklumat Kapolri Mak/1/I/2021 tentang
Kepatuhan terhadap Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut Serta
Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam (FPI) yang ditandatangani Kapolri
Jenderal Idham Aziz ,(Jumat, 1/1/21) bertentangan dengan prinsip demokrasi yang
dianut Negara Kesatuan Republik Indonesia dan hak masyarakat dalam
berkomunikasi dan mendapatkan informasi seperti yang diatur di dalam Pasal 28F
UUD 1945.
Ketua Umum JMSI, Teguh Santoso dan Sekjen Mahmud Marhaba,
menyatakan UUD 1945 telah menjamin hak setiap warga negara untuk berkomunikasi
dan memperoleh informasi, juga hak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis
saluran komunikasi yang tersedia.
“Walaupun Maklumat Kapolri tidak secara tegas menyatakan
melarang kegiatan pers terkait FPI, namun pada praktiknya Maklumat Kapolri
dapat digunakan untuk memberangus karya jurnalistik yang selain dilindungi
Pasal 28F UUD 1945 juga dilindungi UU 40/1999 tentang Pers. Apalagi poin ke-3
Maklumat Kapolri menggunakan istilah “diskresi Kepolisian” yang bisa diartikan
sebagai kewenangan penuh untuk mengambil langkah apa pun di luar yang diatur
oleh peraturan perundangan yang ada dan diketahui masyarakat,” ujar Teguh dalam
keterangan siaran pers, Jumat.
Secara teknis, Maklumat Kapolri itu juga menyulitkan bahkan
absurd bagi kerja jurnalistik. Dalam UUD 40/1999 telah ditegaskan bahwa
masyarakat pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan
gagasan dan informasi. Maklumat Kapolri bisa membuat wartawan justru
mengabarkan ilusi dan fantasi.
“JMSI dapat memahami bahwa Polri bertanggung jawab dalam hal
penegakan aturan menyusul pembubaran dan pelarangan FPI berdasarkan Keputusan
Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Menteri
Komunikasi dan Informatika RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian Negara RI dan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme yang diumumkan hari Rabu lalu
(30/12).,” ungkapnya.
Namun sebagai negara hukum, proses penegakan hukum tidak dapat
dilakukan dengan mengabaikan hukum yang lain, apalagi hukum yang lebih tinggi,
dalam hal ini Konstitusi UUD 1945. Di sisi lain, JMSI mengajak perusahaan media
siber yang tergabung dalam JMSI memastikan wartawan di perusahaan media siber
masing-masing bekerja dengan mematuhi kode etik jurnalistik.
“JMSI memahami dan menyadari bahwa persoalan yang terkait dengan pembubaran dan pelarangan FPI baru-baru ini memiliki dimensi politik dan sosial yang luas. Kepatuhan kita pada kode etik jurnalistik dan keberpihakan kita pada kepentingan masyarakat luas dan bangsa menjadi penentu agar karya jurnalistik yang kita hasilkan dapat menjadi suluh bagi perjalanan bangsa dan negara,” tutupnya.(Tim/red)