![]() |
Dok (istimewa) |
Oleh:
Om Pala Melanesia
Merdeka itu, terbebas dari keterjajahan. Merdeka itu terbebas dari pengaturan bangsa lain. Merdeka itu melepaskan diri dari kemungkaran. Merdeka itu terbebas dari kemiskinan. Merdeka itu terbebas dari utang. Merdeka itu, terbebas dari intervensi bangsa lain. Merdeka itu tidak menggadaikan sumberdaya alam. Merdeka itu memanfaatkan kekuatan ekonomi untuk kesejahteraan rakyat. Merdeka itu menitip jalan kemakmuran bagi generasi berkelanjutan.
Keterjajahan Penjajah. Kesewenangan bangsa lain merebut sumberdaya alam, mengatur kedaulatan bangsa, memporakporandakan nilai para leluhur, menjadi amarah kolektif. Di bawah bambu runcing, parang dan salawaka, clurit, badik, tombak, dan doa menggema seantero negeri. Kerinduan merangkai 17 ribu pulau, merajut suku bangsa dan bahasa, menyatukan kekuasaan antarpulau antarwilayah, dalam genggaman Ibu Pertiwi.
Dari teriakan merdeka di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jumat, jam 10 pagi. Bertempat di rumah seorang pengusaha Muslim keturunan Yaman bernama Faradj Bin Said Bin Awadh Marta, Soekarno dan Hatta berdiri tegak, berteriak Merdeka…! Merdeka…! Merdeka…! Diikuti resoluasi jihad oleh Hadratus Syeikh K.H. Hasyim Asy’ari, selaku Ketua PBNU, memaksa Bung Tomo, kumandangkan Allahhu Akbar…, Allahhu Akbar…, Allahhu Akbar…, yang melintasi 3 batas waktu, menyebrangi garis Katulistiwa, menyatukan laut dan darat, dari kuasa kesultanan, kerajaan, dan pemimpin-pemimpin lokal, tanpa negosiasi, kompromi dan balas jasa; sukses menyatukan 17 ribu pulau, menjadi negara kepulauan di Nusantara.
Penjajah tak akan datang di Bumi Pertiwi, jika bukan karena rebutan kuasa ekonomi. Untuk menguasai dunia, menancapkan kekuasaan rempah, sebagai komoditas global. Menjadikan pala dan cengkih, sebagai alat tukar kekuasaan. Melewati benua dan samudera mencari pulau kecil di bibir Pacifik, menemukan Ternate sebagai kepulauan rempah yang termasyur pada zamannya.
Ternate menjadi simbol keterjajahan dari ekspansi ekonomi bangsa Eropa yang menjadikan komoditas pala dan cengkih sebagai alat transaksi menguasai dunia. Merebut sumberdaya alam untuk kesejahteraan para raja dan ratu Eropa, memiskinkan para sultan, syekh dan kiyai pemimpin ummat. Kora-kora tumbang di atas meriam para penjajah. Bala tantara, meriam dan senjata berat menguasai kekuasaan sultan. Para sultan diadu domba. Perjanjian Moloku Kie Raha dinistakan. Atas nama kekuasaan ekonomi, benteng-benteng berdiri tegak di sepanjang pantai Ternate, memperkokoh kekuasaan, membelah biji pala, mengurai fuli dan menyebar wangi bunga cengkih pada kemiskinan warga Ternate.
Penguasaan sumberdaya alam, menjadi alasan menjajah ekonomi, merebut kuasa, menindas rakyat, tak pernah berhenti walau sesaat. Meruntuhkan rempah Ternate lalu merebut Batavia. Berpindah sang Gubernur penjajah ekonomi menambah deretan amarah atas kuasa ekonomi yang tak pernah berhenti. Dari mobilitas komoditas antarnegara menjadi alasan ekspansi negara-negara itu menindas sesama ummat manusia. Sampai akhirnya komitmen kebangsaan; menghapus penjajah di muka bumi.
Sudahkah merdeka ?
Keterjajahan Sentralistik. Penjajah selalu berubah wujud, mencari kuasa merebut sumber ekonomi rakyat. Namun satu dalam etos penjajah adalah kekuasaan ekonomi, yang tak pernah luntur dalam evolusi manusia. Sultan Jabir Syah, bisa menjadi Gubernur Irian Barat, tapi tak pernah memimpin Maluku Utara. Kehebatan putra daerah dari kekuatan idin Sultan Mudafar syah, tumbang di bawah Supanji, Sutikno, yang berlanjut menumbangkan kayu, membuka jalan masuknya Barito Pacifik Timber Group, menguasai hutan Halmahera dan gugusan pulau-pulau, menancapkan kekuasaan ekonomi di Sidangoli dan Falabisahaya, untuk memenuhi kebutuhan global, sebelum Jhon Nasbit menyebut Macan Asia. Para serdadu membunyikan mesin-mesin industri menggundulkan hutan, memiskinkan rakyat, mengusir Togutil di atas pohon keabadianya, membuat ekonomi Maluku Utara, penyumbang terbesar PDRB Provinsi Maluku, namun kemiskinan, gizi buruk, malaria menjadi sahabat rakyat yang pasra atas keterjajahan sentralistik, di bawah kuasa Orde Baru.
Sagu menjadi santapan harian yang menemani miskin di tengah kejayaan ekspor kayu gelondongan. Beras menjadi barang mewah hanya dikonsumsi kelompok elit lokal dan migran penguasa ekonomi, kopra, cengkih dan pala. Fasilitas pendidikan terbatas. Migrasi pendidikan di Ternate menjadi simbol anak piara, yang bertuan kepada elit lokal dan penguasa ekonomi menjadi jalan gugatan atas sentralistik penjajahan.
Merdeka dari penjajahan sentralistik, atas gugatan model sedotan ekonomi yang melahirkan konglomerasi, menumbuhkan oligarki, menciptakan kesenjangan antara kaya dan miskin, memusatkan pembangunan di pusat pemerintahan, terakumulasi dalam rebutan kuasa atas pesan pasal 18 UUD 1945. Atas pengakuan daerah-daerah, sebagai solusi mengatasi ketimpangan antarwilayah dan antarkawasan, menjadi dalil perjuangan kemerdekaan dari penjajahan sentralistik. Kita rangkai kampus, menggunakan mesin mahasiswa sebagai alat menumbangkan kuasa Orde Baru. Kita menolak revolusi, menerima reformasi. Kita menolak federal menyambut otonomi, karena kita ingin merawat keindonesiaan yang berkeadilan.
Sudahkan Merdeka?
Keterjajahan Desentralisasi. Mimpi membangun Indonesia Otonom yang berkeadilan, membagi kekuasaan antarpusat dan daerah, memberi 5 kuasa yang sentralistik, membagi habis kuasa ke kabupaten/kota atas nama rentang kendali. Kita bermimpi arus balik kekuasaan ke daerah, akan mentransfer manusia-manusia unggul di daerah yang berkolaborasi membangun bangsa, mewujudkan nusantara. Namun mimpi itu hanya mimpi sesaat dari jalan UU 22/1999, yang tak pernah ikhlas menjalankan pembagian kuasa ekonomi, menjadi alasan secara perlahan menumbangkan peran daerah. Kita dibuat bergantung ke pusat, menjadi pengemis meminta jatah setiap tahun. Sumber-sumber ekonomi dikuasai terpusat, yang rece-rece disebut Pendapatan Asli Daerah, tapi masih juga dipaksa menunjukkan kemandirian daerah. Dari uang rece membiayai ekonomi, membandingkan Jakarta, Surabaya, Bandung dengan Ternate, Tidore, Morotai, sama dengan membandingkan Warung Bibi Jainab dengan Senayan City. Tapi kita dibuat standar yang sama atas nama nasionalisme.
Ambisi menjadi negara berpendapatan tinggi, menjadi pilihan eksploitasi sumberdaya alam. Para pemilik modal diberikan karpet merah. Seluruh hambatan investasi dipangkas, membungkus diri dalam perlindungan cipta kerja. Ketika melamar kalah bersaing oleh kualitas manusia yang berbeda, dari gagal membangun manusia berkualitas penuh kompetisi, tapi gregetan atas status negara berpendapatan tinggi membuat dinding-dinding penguasaan sumberdaya alam untuk kesejahteraan rakyat, pupus dari harapan.
Tiongkok menancapkan kuku-kuku ekonomi yang kuat di Halmahera atas nama kewenangan Negara. Otonomi bidang tambang dibabat habis. Kewenangan memberi izin ditumbangkan, hambatan investasi dilibas, raja-raja kecil dibuat tak berkutik, menjadi alat kuasa eksploitasi sumber daya alam yang berbaju kabasaran, menggunakan dalil alat statistik berpidato penuh semangat, mengungkap data ekspor yang tinggi, pertumbuhan ekonomi di atas pertumbuhan nasional dan mengalahkan seluruh provinsi di Indonesia. Seolah bangga dengan angka statistik, tapi saat menyajikan data kemiskinan yang tinggi, masih mengelak dan menyebut rakyat malas, menyebut rakyat tak mau bekerja, menumpahkan salah ke rakyat, nasib menjadi rakyat yang tak berdaya
Wajah Obi, Weda, Maba, dan Malifut, seperti Sidangoli dan Falabisahaya pada masa keemasan kayu, atau Pulau Gebe yang ditinggalkan Aneka Tambang, adalah contoh dari investasi, yang mengeksploitasi sumberdaya alam, dan meninggalkan jejak penjajah sentralistik dan membangun model penjajah otonom.
Rakyat di sekitar kawasan industri raksasa diminta berkompetisi dengan pekerja migran, seperti membuat kompetisi antara Persiter melawan Barca, belum bertanding sudah tumbang di garis penalti. Pilihan yang mungkin dikerjakan menjadi buruh kasar di industri besar, dari tanah yang dijual dengan harga yang murah. Atas nama nasionalisme rakyat tak diberi kesempatan menjadi pemilik investasi di atas tanah miliknya, menjadi model ekonomi Pancasila, yang membangun kerangka ekonomi dalam kepemilikan bersama, ternyata hanya menjadi bahan ajar di sekolah.
Sudahkan Merdeka, jika bumi dan kandunganya untuk kemakmuran bangsa lain? Tangan kita masih di bawah, meminta bantuan dari 2 persen laba investasi atas nama CSR. Penuh bangga membagikan sembako, saling rebut memberi sumbangan seolah menjadi orang terbaik di muka bumi tanpa sadar membunuh kreativitas dan etos kerja. Rakyat dibiasakan menerima bantuan, tidak dibiasakan menjadi rakyat yang kompetitif. Dengan bangga membangun rumah ibadah tapi tak membangun manusia. Dengan bangga membangun jalan dan jembatan tapi guru tak merata di desa dan pulau. Dengan bangga membangun lapangan terbang, tapi dokter dan para medis tak tersedia di desa. Alat tes Covid-19 hanya tersedia 2 unit di provinsi yang rakyatnya tinggal di pulau-pulau kecil.
Tataplah ke depan. Lihat akan datang generasi baru, yang akan melanjutkan jejak merdeka. Biarkan mereka tersenyum, jangan biarkan mereka marah, sebagaimana kita marah pada Sidangoli yang diabaikan, sebagaimana kita mengusap dada dari Falabisahaya yang tak bertuan, sebagaimana Pulau Gebe yang kehilangan cahaya kehidupan. Jangan lagi biarkan generasi ke depan menyesali Obi, mengutuk Weda, marah pada Maba, dan jengkel pada Malifut, yang tak lagi memberi kehidupan layak bagi kemanusiaan, tapi memaksa kita merdeka, yang tak pernah merdeka mengelola kekayaan alam untuk kesejahteraan rakyat.
Melanesia, 17 Agutus 2021