Deteksi Kelemahan Gubernur Maluku Utara

Editor: Admin

 

Foto Istimewa (sumber tandaseru)

Oleh 

Om Pala Melanesia

(DR. Mukhtar A. Adam, SE., M. Si)

Sejak awal posisi gubernur memang lemah, selain kepemimpinan gubernur yang lemah dan proses pada undang undang pemerintah daerah, kebijakan otonomi daerah Indonesia tidaklah otonomi yang kita harapkan, fungsi dekonsentrasi gubernur juga terbatas, dari sisi regulasi posisi Jakarta dalam hal ini kementerian dalam negeri relatif jauh lebih kuat di Bandingkan dengan posisi gubernur dalam jabatannya sebagai pemerintah pusat. 

Karena itu kepemimpinan lokal dalam hal ini gubernur yang memiliki dua mata policy di sisi lain sebagai daerah otonom dan sebagai perpanjangan pemerintah pusat sangat di tentukan oleh leadership, kepemimpinan itu menunjukkan mengelola hubungan, jika pola komunikasi antara daerah dan pemerintah pusat semakin kuat kepemimpinan lokal, maka Jakarta cenderung makin melemah posisi negosiasi pemerintah daerah jauh lebih kuat dan bagi pemimpin daerah yang tidak kuat dan tidak memiliki kemampuan komunikasi hubungan antara pemerintah maka pemerintah daerah cenderung lemah.

Bisa kita lihat kepemimpinan di Indonesia katakanlah seperti Ganjar di Jawa Tengah atau Anis Baswedan di Jakarta atau ibu Khofifah di Jawa Timur, atau gubernur Papua, mereka punya posisi bergening yang sangat kuat sehingga Jakarta tidak mengambil keputusan akan cenderung mengkomunikasikan lebih dahulu, posisi Jakarta akan sedikit melemah pada gubernur yang memiliki kemampuan komunikasi dan publik relasi yang cukup baik tapi bagi gubernur-gubernur yang lemah yang kepemimpinannya kualitas di bawah cenderung akan di atur oleh Jakarta dan Jakarta tidak melihat posisi tawar yang kuat. 

Problem pada gubernur Maluku Utara dalam 10 Tahun kepemimpinan Malut, sejak awal sudah di deteksi memang lemah dalam 20 Tahun kepemimpinan katakanlah sejak Provinsi ini dibentuk kita belum menemukan seorang pemimpin yang memiliki reposisi yang kuat untuk bernegosiasi dengan Jakarta atau meletakkan hubungan fungsi dekonsentrasi yang di miliki oleh gubernur dalam jabatannya sebagai pemimpin otonom dan pemimpin dekonsentrasi, jadi pemimpin dekonsentrasi dan konsentrasi baik harus di mainkan oleh gubernur di dalam mengatur pola-pola hubungan Jakarta dan daerah.

Kelemahan kepemimpinan itu di mulai korelatif sangat korelatif dengan kebijakan pembangunan di daerah lihat saja posisi tawar, baik di Investasi, kebijakan di bidang ekonomi, sosial, memang rata rata lemah. Katakanlah penduduk kita yang menerima BPJS atau pendidikan gratis yang sudah menjadi kewenangannya negara, atau ada alokasi kewenangan negara kita juga tidak sanggup negosiasi itu secara baik sehingga masyarakat kita tidak mendapatkan layanan yang jauh lebih banyak, banyak anak-anak kita yang putus sekolah, banyak saudara-saudara kita jadi warga yang di layani negara lewat BPJS. Apalagi posisi tawar sebagaimana fenomena PJ bupati pulau Morotai dalam posisi tawar gubernur tidak kuat dan tidak sekuat yang kita bayangkan walaupun sisi lain ada regulasi yang mengatur soal daerah daerah strategis menjadi kewenangannya pemerintah pusat tetapi itu bisa di komunikasikan sepanjang gubernur kita memiliki kemampuan komunikasi leadership kuat. 

Kelihatan cara berkomunikasi yang lemah yaitu dengan endingnya malah selevel eselon I ketemu gubernur hanya mengantarkan surat ini cara negosiasi yang tidak tepat saudara sekda harusnya, kalau gubernur sudah menyatakan sudah tidak terima sejak awal agar wibawa gubernur tetap terjaga surat itu diserahkan kepada sekda tanpa melalui formalitas lewat foto dan mempublikasikan dan dikasikan secara masif ke media, ini untuk menjaga wibawa seorang gubernur sayangnya sekda tidak cukup paham untuk membangun komunikasi itu.

Ini yang saya maksudkan gubernur yang tidak punya kemampuan berkomunikasi di dukung oleh sekda yang tidak juga memahami komunikasi antara lembaga antar pemerintah dan publik. Akibatnya makin memperlemah posisi gubernur dalam berbagai kerja ivent pemerintah baik pemerintah pusat sampai dengan kabupaten kota, maupun ke Forkompinda. Ini yang membuat pelemahan pelemahan kebijakan dari kepemimpinan AGK, yang di dukung oleh sekda yang tidak cukup produktif dan tidak cukup memahami, membangun komunikasi eksternal dan internal dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. (Tim)

Share:
Komentar

Berita Terkini