Hudan Irsyadi Jusuf
Akademisi Unkhair Ternate
Hanya pemimpin yang tidak punya kecerdasan sosial yang tidak peka dengan situasi ini (bencana)
Bencana bukanlah kehendak manusia, hanya pemilik semestalah yang memilik kehendak tersebut. Manusia hanya merencanakan, tetapi sang pemilih semesta yang menentukan.
Bencana datang tidak memandang status sosial, baik itu orang kaya, orang miskin, polisi, tentara, bupati ataupun gubernur. Bencana juga tidak melihat orang yang lebih tua ataupun anak-anak, karena semuanya pasti akan kena. Dengan berikhtiarlah, setidaknya kita menyadari akan sebuah kebencanaan.
Peristiwa tenggelamnya KM Cahaya Arafah di perairan Gane Barat, tepatnya di desa Tokaka, mengetuk rasa kemanusiaan. Namun, di tengah kebencanaan terdapat pemberitaan salah satu media lokal yang isi beritanya menuliskan kepala daerah (Bupati dan Wakil) bepergian ke Jakarta. Tak tanggung-tanggung judul beritanya adalah “Masyarakat Berduka, Bupati dan Wakil Terbang ke Jakarta”. Kontradiktif. Bukannya “peduli dan ikut merasakan suasana batin keluarga yang tertimpa musibah/bencana tetapi lebih memilih meninggalkan daerah pemerintahannya.
Perjalanan dinas yang menguras uang rakyat, berbungkus lobi Anggaran, yang direncanakan "foya" oleh manusia sewaktu waktu dapat ditunda atau dibatalkan karena warga sedang tertimpa berncana yang datang dari Tuhan. Pemimpin yang arif tentu menyadari bahwa ini adalah ujian dari sang pemilik semesta. Namun dengan cara seperti ini, pergi meninggalkan warganya yang tertimpa bencana, bisa jadi Tuhan memberikan pesan kepada rakyatnya bahwa mereka telah salah memilih pemimpinnya.
Hanya pemimpin yang tidak punya kecerdasan sosial yang tidak peka dengan situasi ini (bencana), yang lebih memilih dengan urusan yang “belum pasti” untuk meninggalkan rakyatnya. Bahkan, bupati dan wakil saban hari membaca berita pasca peristiwa nahas KM Cahaya Arafat yang korbannya ditemukan satu persatu pun tidak tergerak hatinya untuk bersama-sama rakyatnya. Jangan cuma datang saat kepentingan politik. Di pelabuhan desa Tokaka kami mengantarmu. Di hari pemilihan kami memilihmu. Di hari kemenanganmu kami bersorak. Akan tetapi, di dalam kebencanaan, kami ditepikan dan meratapi kesedihan dalam kesendirian.
Kami butuh pemimpin pemilik hati rakyat, yang datang kala rakyat menangis, yang datang kala rakyat berduka. Kami ingin mengusir pemimpin yang pergi meninggalkan rakyat yang merana di pesisir menunggu nasib sanak saudara yang tak pasti.