Hiperealitas New Gen

Editor: Admin


Oleh 

NUEL JEAN GASTON

Penggiat Literasi 

Masyarakat dan pemuda “New-Gen” merupakan dua entitas yang sedikit berbeda dalam peran sosial. Masyarakat adalah kelompok/Makhluk sosial yang berskala besar di mana ada saling jalinan erat dengan adanya sistem, tradisi, konvensi, norma, budaya, hukum serta adat istiadat yang patut di taati dalam lingkungannya. Namun pemuda “New-Gen” adalah spesifikasi dari roda masyarakat tersebut. Pemilik tanggung jawab penting sebagai penjelajah sumber sejarah dan memiliki peran sekaligus tujuan dengan pengharapan masa depan lebih baik, masa depan yang sesuai untuk New Generasi di masa akan datang.

Pemuda merupakan Buket bagi masyarakat, peran mereka lebih penting daripada yang lain. Kenapa demikian? pemuda merupakan bagian integral dan esensial dari sebuah masyarakat. Menjadi Generasi baru “New-Gen” merupakan suatu keharusan demi menjaga keberlangsungan pola dari kehidupan masyarakat sebelumnya yang dapat membawa perubahan serta pembangkit kekuatan lokal secara menyeluruh dan global.

Dalam upaya memproduksi Generasi baru sebagai jawaban kemajuan hari ini bisa buktikan dengan bagaimana perkembangan pengetahuan “knowledge” dan teknologi yang hampir setara dengan populasi manusia dan formatif sehingga aktifitas masyarakat dapat di mudahkan untuk terakses baik komunikasi maupun bepergian. Ini adalah bukti dari bagaimana peran generasi dalam kemajuannya.

Lantas, sudahkah kita menjadi pemuda yang diharapkan?

Pada kesempatan kali ini, Penulis ingin melihat fenomena Generasi baru dalam aspek kemajuan teknologi yang hampir setara dengan pertumbuhan manusia.

Di era digital ini, informasi diterima masyarakat dengan sangat cepat. Hampir segala hal yang terjadi di segala tempat di ketahui oleh siapapun. Dengan semakin cepatnya pergerakan informasi tersebut, maka, ada batasan antara hal yang benar dan salah hampir menghilang. Kita yang tumbuh bersamaan dengan pesatnya kemajuan teknologi ini memiliki kemampuan untuk mengakses informasi dengan cepat bahkan bisa dibilang kita termasuk pengguna terbanyak yang biasa di sebut Generasi fokus teknologi tanpa interaksi sosial (larut dalam media sosial). 

Dari data terupdate melalui survey yang di lakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), ada 143,26 juta penduduk indonesia yang menggunakan internet dan sebanyak 49.52% adalah generasi baru. Dengan demikian bisa kita menarik benang merah pada generasi dalam penggunaannya bahwa terjadi pemanfaatan teknologi yang cukup keliru dan tidak terkontrol sehingga terjadi cacat dalam menggunakannya.

Secara historis perkembangan masyarakat konsumsi terdapat tiga fase yang salahsatunya fase teknologi, hal ini seharusnya menjadi tawaran bagi masyarakat dan generasi yang dapat mengakses teknologi dengan baik agar tidak terjadi gagap dalam penggunaan teknologi (gaptek). Namun, ke-melek-kan yang dimiliki generasi tersebut tidak diimbangi dengan kepekaan sosial yang tinggi sehingga melemahkan interaksi diadik/triadik interaction. Bahkan dalam kemajuan teknologi ini justru menjadi perhatian yang di anggap efektif oleh generasi milenial. Sebenarnya sangat efektif jika dilihat sebagai fungsi namun tidak pada nilai yang berlebihan, bahkan mekanisme penggunaan yang aktif, seorang siswa jauh lebih memahami dan sadar akan teknologi di banding seorang guru yang mengajar.

Fase ketiga ini merupakan bagian dari polarisasi negara terhadap masyarakat yang seolah menjadi wajib dalam mengikuti perkembangan. Standar nya memang harus akan tetapi tidak banyak solusi jika generasi pucuk hijau juga turut terlibat mengakses hal sama, jatuhnya malah berlebihan. Dalam budaya pasca modern telah menyediakan sebuah kenyataan baru dan fantasi yang cukup luar biasa. Artinya bahwa ketika perkembangan teknologi tinggi telah berada dalam capaian populasi manusia maka, kita akan sulit menghindari sebuah realitas yang berlebihan.

Budaya teknologi tinggi ini justru meniduri makna yang sesungguhnya dan memproduksi budaya media sebagai dunia yang nyata. Budaya media menjadi asimilasi akan interaksi masyarakat dan generasi yang memunculkan nilai baru. Dalam hiperealitas menunjukan bagaimana sebuah makna baru untuk membentuk orang pada kesadaran yang mendefinisikan kenyataan sejati di dunia, di mana keanekaragaman media dapat hidup mengakar dan membentuk sekaligus menyaring kejadian pengalaman sesungguhnya, Hiperealitas; Umberto Eco. Ini berarti realitas yang sesungguhnya mengalami reruntuhan secara masif akibat ketahanan pengguna media teknologi yang tidak terkontrol. Bahkan, bisa di bilang ini sebuah kesengajaan agar stratifikasi sosial bisa di netralkan melalui simbol-simbol penggunaan alat teknologi seperti iphone dll (piranti).

Aktifitas manusia kini mengalami perubahan yang dahsyat, dimana orang-orang akan terpolarisasi dengan Handphone sebagai konsumsi yang paling awal setelah bangun tidur. Bisa kita buktikan kebiasaan bangun tidur yang seharusnya minum air putih dan bersih-bersih tempat tidur ini malah telepon genggam yang pertama kali kita sentuh bahkan bisa berjam-jam. Dari awal bangun tidur sampai tidur lagi, handphone menjadi perekat yang erat sebelum menyentuh tangan tetapi pikiran. Kebiasaan-kebiasaan inilah yang mengakibatkan kita tenggelam dalam hiperealitas.

Secara tidak sadar, mereka mejadi malas dengan mencari kebenaran atas suatu informasi. Informasi yang menjadi berita hangat-lah yang akan menjadi mudah mereka percayai. Awalnya memang aneh, namun lambat laun masyarakat saat ini menjadi terbiasa dengan hal tersebut. Masyarakat menjadi kurang peka dengan kondisi orang lain dan hanya mengandalkan cuitan sosial media. Dalam bermain teknologi memang mahir, namun secara terus menerus bisa menjadi budak atas teknologi tersebut, terbuatkan oleh dampak positif teknologi itu sendiri.

Berapa hal yang sering di anggap biasa namun sebenarnya secara tidak sadar kita telah terbutakan akan teknologi yang bertujuan untuk peningkatan Viewers. Kenapa demikian? Peran bersosial media sebagai mendapatkan status yang dilihat dari seberapa banyak pengikut yang meningkat. Menjadikan pengguna Medsos aktif berinteraksi dengan manusia menjadi yang akut. Kemudian ada juga tak sepahaman yang melahirkan kebencian, dimana ada orang-orang saling menebar kebencian lewat status yang upload di akun media sosialnya. "meme" yang memengaruhi hidup seseorang dalam interaksi simbolik sehingga tidak sedikit manusia khususnya generasi milenial (New-Gen) terkesima dan minat akan tawaran postingan yang mendoktrin pikiran mereka.

Ini bukan soal kritik terhadap teknologi yang berdampak negatif, karena tidak sekedar menjadikan teknologi sebagai senjata untuk menjemput suatu perubahan yang berkembang akibat mekanisme penggunaan yang berlebihan yang merubah pikiran dan tindakan seseorang secara menyeluruh. Terisolasi dalam kamar postingan media dan menaruh hidup pada simulaskrum itu. Tidak sampai di situ, adapun masalah lain yang turut menjadi pemicu terancamnya posisi pemuda adalah lemahnya pengawasan orang tua, keluarga, serta orang terdekat termasuk pula lemahnya pemahaman tentang generasi terhadap kebudayaan, dan lain sebagainya. Apalagi dengan lingkungan yang kurang mendukung kemajuan anak yang berkembang.

Hal ini menjadi tugas dan tanggung jawab bersama dalam berbagai elemen guna menyelamatkan kaum hijau (New-Gen), sekaligus menyelamatkan bangsa dari krisis kepemudaan yang berprestasi. Seperangkat aturan saja tidak cukup untuk melindungi generasi dari berbagai kemungkinan terburuk, tanpa didukung oleh peran pemerintah, masyarakat, dan lain sebagainya. Untuk itu harus dicari solusi agar proses pengembangan potensi masyarakat terkhusus pada generasi baru (New-Gen) untuk mendapatkan perhatian khusus bagaimana penggunaan dan pemanfaatan teknologi dan media sosial.

Terlepas dari itu, masyarakat dan pemuda juga perlu memperhatikan bahwa mereka mempunyai fungsi sebagai Agen of change, moral force and social control sehingga fungsi tersebut dapat berguna bagi masyarakat. Generasi baru adalah kunci dari kemajuan bangsa. Yang artinya sebagai orang yang akan meneruskan suatu bangsa serta dapat menyadari bahwa bagian dari bentuk bibit baru pembangunan bangsa. Bila mana upaya meruntuhkan paradigma yang keliru ini tapi tidak di dasari oleh kesadaran diri dan paksaan, maka akan sulit. Sulitnya karena kita berupaya melawan yang pasif.

Terdapat nilai baru yang tumbuh ini tentu kita butuh banyak tawaran dan gagasan untuk menggubris fenomena penggunaan teknologi dan media yang kian kondusif, dan aktif ke dalam kehidupan generasi yang bersifat teknologi. Dengan genjotan alat teknologi yang tidak tertolong ini menjadi perhatian kita bersama maka, fokuskan pada bagaimana penggunaan dapat di manfaatkan melalui kontrol keluarga dan kelas formal agar terdapat keseimbangan dalam penggunaan media tersebut.(**)

Share:
Komentar

Berita Terkini