![]() |
Kantor Polres Kepulaun Sula (foto/istimewa) |
SANANA- Penyidik Polres Kepulauan Sula (Kepsul) mulai mengusut kasus dugaan pungutan liar (Pungli) yang terjadi di Dinas Ketahanan Pangan (Disketapang) Kabupaten Kepsul.
“ Enam ketua kelompok dan bendahara kelompok tani lain sudah di panggil
ke Polres dan dimintai keterangan,” ungkap Kasat Reskrim AIPTU Abu Jubair Latupono melalui Kanit Tipikor Polres Kepsul, AIPDA Suwandi
Sangadji kepada nusantaratimur.com beberapa waktu lalu.
Sementara kelompok tani Desa Kaporo, Kecamatan Mangoli Selatan belum
dimintai keterangan terkait perkara ini.
“ Tinggal kelompok tani Desa Kaporo belum diminta keterangan, karena mungkin
mereka belum sempat datang,” tutur Suwandi.
Kendati demikian, pihak penyidik berencana memanggil sejumlah staf Dinas
Ketahanan Pangan yang diduga terlibat dalam kasus ini.
“ Setelah kelompok tani Desa Kaporo sudah diperiksa untuk dimintai keterangan, barulah kami panggil beberapa staf dari dinas ketahanan pangan untuk dimintai keterangan,” ucapnya. Lanjut Suwandi, mungkin itu info perkembangan sementara kasus tersebut. “ Kalau ada perkembangan lagi nanti disampaikan,”ungkapnya.
Di ketahui kasus dugaan pungli ini, berawal saat tujuh gabungan kelompok
tani (Gapoktan) mengerjakan proyek swakelola pembangunan tujuh buah lumbung pangan yang
tersebar di Pulau Sulabesi dan Pulau Mangoli dengan nilai masing-masing sebesar
Rp 314 juta.
Pasalnya, anggaran proyek swakelola ini di ketahui bersumber dari Dana
Alokasi Khusus (DAK) Fisik Bidang Pertanian sebesar Rp 2,198 miliar Anggaran
Tahun 2021.
Cilakanya, saat pelaksanaan diduga ada sejumlah oknum ASN Dinas Ketahanan
Pangan Kabupaten Kepsul meraup keuntungan ratusan juta dengan dalih pembukaan
uang administrasi.
Berdasarkan keterangan salah seorang Ketua Kelompok Gapoktan inisial FM kepada media ini. Ia mengatakan saat pencairan
tahap I di Bank BPD tujuh kelompok dikawal langsung staf dinas. Nah, setelah
selesai pencairan tujuh kelompok di giring ke salah satu rumah.
“ Di situ kami tujuh kelompok diminta untuk membuka uang administrasi
sebesar Rp.8.300.000 per masing-masing kelompok,” beber FM.
Pencairan tahap II juga demikian. “ Kami digiring ke rumah yang sama, disitu
kami diminta membuka uang sebesar Rp.8.600.000 per masing-masing kelompok,” bebernya.
Lanjut FM, pencairan tahap III lebih menggila, pihak dinas minta agar
membuka uang sebesar Rp 50 juta rupiah per masing-masing kelompok untuk ditahan
pihak dinas dengan alasan, nanti setelah BPK sudah selesai melakukan
pemeriksaan baru uang itu dikembalikan.
“ Disitu, saya merasa apa yang dilakukan pihak dinas ini sudah tidak
benar, saya pun sontak melawan dan kemudian mengambil semua uang dan pergi
tanpa memberikan sepeserpun kepada pihak dinas,” ungkapnya.
Lanjut FM, mereka staf dinas sempat mengejar dirinya untuk meminta uang
50 juta itu. “ Namun saya bilang kalau mau mengambil uang itu, maka mari kita
sama-sama ke kantor polisi dan di ambil disana, mereka pun langsung takut dan
tidak berani ambil uangnya,” koarnya.
Sementara teman-teman 6 kelompok lainnya mereka memberikan uang 50 juta,
kata FM. (sdl/red)