![]() |
Mukhtar A Adam saat di wawancarai awak media |
Ternate-, Permintaan Wakil Gubernur Maluku Utara M Al Yasin Ali agar akademisi mendukung perjuangan mendapatkan keadilan dana bagi hasil (DBH) sektor tambang dari pemerintah pusat mendapat tanggapan positif akademisi Universitas Khairun, Mukhtar A. Adam.
Dilansir dari tandaseru.com, Rabu (11/01/22) Mukhtar menyatakan, ini merupakan momentum pertumbuhan, sehingga bukan hanya akademisi yang dibutuhkan namun semua komponen, termasuk DPRD, DPR RI, dan DPD.
"Ini adalah momentum, jika tidak dimanfaatkan maka yang rugi adalah masyarakat Maluku Utara. Karena ini hak kita, sumber daya alam kita yang harus dikembalikan," tuturnya, Senin (9/1).
Sebagai daerah pemilik tambang, Maluku Utara lah yang akan mengalami risiko-risiko jangka panjang. "Belajarlah dari Pulau Gebe. Dulunya Pulau Gebe diinvestasikan oleh PT Antam pertumbuhannya luar biasa. Setelah Antam hengkang hancurlah Pulau Gebe," ujarnya.
"Bahkan listrik saja nggak masuk. Fenomena seperti inilah yang harus diatasi bersama," sambungnya.
Tidak hanya peran akademisi secara keilmuan, sambung Mukhtar, media dan seluruh komponen masyarakat harus menyuarakan yang menjadi hak kita.
"Sehingga tim peneliti yang akan mendorong ini. Allah sendiri saja bilang, jika hak kita tidak kita rebut itu juga dosa," cetusnya.
Sebagai akademisi, Mukhtar mempertanyakan keberanian Gubernur, Bupati, dan Wali Kota menyuarakan persoalan tersebut ke Presiden Joko Widodo.
"Sekarang malah kami tanya ke seluruh pejabat daerah di Maluku Utara berani nggak kita ajukan ke Presiden dan DPR RI atas ketidaksetujuan ini?" ucapnya.
Ia berkata, akademisi siap menyiapkan konsepnya "Namun pertanyaannya mereka siap nggak mengajukan keberatan ke Presiden? Agar Presiden juga tahu. Presiden bahkan sudah memerintahkan secara lisan dalam pidatonya bahwa hati-hati dengan Maluku Utara, artinya hati-hati dengan pertumbuhan ini, kok kita tidak melakukan perbaikan kesejahteraan?" papar Mukhtar.
"Untuk itu mari kita bertemu Presiden bicarakan kami problem membuat kesejahteraan karena Dana Bagi Hasil Maluku Utara ditahan-tahan oleh Kemenkeu, ditahan-tahan oleh Menteri ESDM. Maka dari itu, kita butuh tangan Presiden untuk memaksa menteri-menterinya membuat regulasi yang bisa membuat kita fair," tegasnya.
Ditanya apakah dana transfer DBH pusat ke daerah dari sektor pertambangan sudah sesuai dengan hasil produksi tambang, Mukhtar menegaskan sama sekali tidak sesuai.
"Tentu tidak, timpangnya jauh. Jumlah eksploitasi sumber daya alam yang naik tiga kali lipat PNBP-nya naik hanya satu kali lipat, begitu juga dengan DBH-nya. Padahal, eksploitasi sumber daya alam jutaan metrik kubik yang diangkat dari Maluku Utara. Nah, ketidak adilan itu yang kita mau suarakan," jabarnya.
"Ini soal sumber daya alam kita yang tidak bisa diperbaharui. Kalau bisa diperbaharui mah gampang. Ini masalahnya tidak bisa, butuh jangka panjang. Olehnya itu butuh kebersamaan untuk kita rumuskan ini," terang ekonom Malut ini.
Selain itu, Pemda Maluku Utara juga mengalami kesulitan dari sisi data hasil produksi tambang. Menurutnya, data produksi segaja disembunyikan pemerintah pusat.
"Kami tim peneliti juga mengalami kesulitan karena data hasil produksi disembunyikan oleh kementerian, sehingga kami bangun asumsinya dari jurnal penelitian. Itupun yang kami kantongi hanya data hasil ekspor. Sedangkan ekspor feronikel misalnya di dalam feronikel itu berapa sebenarnya jumlah biji nikelnya. Harusnya kita punya data produksi biji nikel. Masak hasil produksi di tanah kita, sementara kita sendiri tidak tahu berapa jumlah produksi nikel kita," pungkasnya.