Indonesia: Demokrasi No, Korupsi Yesss!!

Editor: Admin

 


Oleh: Irfandi Mustafa, S.Pd., M.M


Demokrasi sudah menjadi sistem yang diterapkan beberapa abad lalu, tepatnya sejak zaman Yunani Kuno. Saat itu, pengertian demokrasi pun sudah mengedepankan kepentingan rakyat. Sudah pasti, kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Seluruh perkara kenegaraan harus dibicarakan langsung dengan para rakyatnya. Demokrasi murni atau demokrasi langsung adalah sistem yang diusung di zaman tersebut. Pada abad ke-6 SM kemudian, bentuk pemerintahan yang relatif demokratis diperkenalkan di negara-negara bagian Athena oleh Cleisthenes pada 508 sebelum masehi. Kondisi ini membuat Cleisthenes dikenal dengan panggilan bapak demokrasi Athena. Saat itu, Athena menganut demokrasi langsung dan memiliki dua ciri utama. Melalui pemilihan warga secara acak untuk mengisi jabatan administratif dan yudisial di pemerintahan dan majelis legislatif yang terdiri dari semua warga Athena. Seluruh warga Athena (terkecuali wanita, budak, orang asing, pria di bawah usia 20 tahun) memiliki hak dapat berbicara dan memberi suara di majelis Athena. Meski dibuat oleh majelis, demokrasi di Athena berjalan dengan kontrol langsung dari rakyat. Rakyat akan menyuarakan pendapatnya lewat majelis atau pengadilan untuk membantu kendali politik di Athena.

Beranjak dari sesudah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, secara terbuka duet pimpinan Dwitunggal, Soekarno dan Mohammad Hatta sudah mendeklarasikan Indonesia Merdeka sebagai negara yang demokratis sebab pada kalimat terakhirnya dikatakan dalam Teks Proklamasi yaitu ” atas nama bangsa Indonesia”, jika dikaitkan dengan definisi bangsa, maka yang dimaksud ialah seluruh rakyat Indonesia. Jadi kemerdekaan Indonesia adalah kemerdekaan yang diperuntukkan untuk rakyat Indonesia sendiri. Tetapi tidak dengan demokrasi sekarang.

Kontradiksi, Matinya Demokrasi?

Seperti yang penulis mengajukan tema di atas untuk menggambarkan keadaan sekarang (tahun 2021) di Negara Indonesia. Pastinya di kalangan masyarakat, mahasiswa, pemuda, organisasi kepemudaan, LSM, Akademisi, dan masih banyak lagi wadah yang selalu mengkritisi habis – habisan soal pemerintahan maupun kebijakan negara saat ini. Membicarakan masa depan demokrasi pada umumnya akan mengarah setidaknya pada dua hal, yakni penguatan demokrasi atau pelemahan demokrasi. Dalam hal pelemahan demokrasi, ada dua model atau varian. Pertama, mengarah kembali pada kondisi otoriter (authoritarian resurgence) dan kedua, mengalami kondisi yang disebut oleh Colin Crouch (2004) sebagai “post-democracy”. Secara detailnya penulis mengajak untuk memberikan  dan mengajak masalah lemahnya demokrasi dan meningkatnya korupsi. Pada esensinya kondisi dan situasi saat ini menunjukan arah panah ke sana situasi  politik kita lebih pas dilihat tengah bergerak ke bentuk model post-democracy. Inilah hakikat situasi politik kita sebelum pandemi COVID-19 terjadi.

Sebelum kita membahas lebih jauh akan di jelaskan makna Post-Democracy. Istilah ini di populerkan oleh Colin Crouch seorang sosiolog Inggris dan juga pengamat demokrasi. Dalam Post-democracy ini, terdapat beberapa kecenderungan. 

  • Pertama, keterlibatan masyarakat dalam dunia politik bersifat terbatas atau artifisial saja. Hampir semua semua aspek kehidupan politik ditentukan oleh elite, khususnya elitenya elit (Creme a la creme) persetujuan pusat dan pimpinan pusat amat menentukan dan mewarnai segenap kehidupan kaders partai dimanapun berada. 

  • Kedua, dalam situasi di atas partai bukan lagi sarana penyalur kepentingan rakyat. Partai tidak lagi menjadi alat sebuah basis politik, namun alat kepentingan pemilik partai. Partai dikelolah secara eksklusif (top-down) layaknya “firma politik” dan mengandalkan pendistribusian material yang cenderung sentralistik, yang mengakibatkan pendiri/penyanang utama dana partai menjadi pusat segalanya. Visi dan gerak partai lebih ditentukan oleh saran-saran political advisior yang berorientasi mengakomodir kepentingan elite dan oligarki ketimbang kepentingan riil masyarakat akar rumput.

  • Ketiga, terdapat kecenderungan menggunakan cara-cara populisme dan artifisial (post-truth) dalam berpolitik. Hal ini karena pada kondisi post-democracy pertarungan ide tidak diperlukan, yang terpenting adalah membangun pencitraan dan memenangkan emosi pemilih dengan janji-janji politik yang menggiurkan. Berkembang sebuah kontestasi seputar meningkatkan citra diri dan menjatuhkan kelompok lawan yang akhirnya berujung pada pembodohan dan penurunan kualitas demokrasi.

  • Keempat, hal ini beriringan dengan kecenderungan people ignorance. Dalam banyak momen politik, antusiaisme berpolitik masyarakat menurun. Masyarakat juga pada umumnya tidak memahami dudukan persoalan, hanya berpaku pada fenomena permukaan. Hal ini terjadi karena kepedulian politik yang semakin rendah terutama karena dunia politik telah dianggap tidak berkenaan langsung dengan mereka, selain karena terlalu banyaknya tipu daya.

  • Kelima, sebagai dampak dari semua itu, hilangnya penghormatan terhadap institusi, proses dan nilai demokrasi. Inilah yang menyebabkan pengelolaan partai menjadi jauh dari hakekat demokrasi. Begitu pula lembaga-lembaga negara telah menjadi “pelayan oligarki” yang akhirnya berdampak pada rendahnya penghormatan masyarakat kepada mereka. Hilangnya juga respek tercermin  dari terus terjadinya manipulasi kecurangan, dan pelanggaran dalam pelaksanaan pemilu yang berujung pada munculnya pemerintahan yang eksklusif. Sementara itu, redupnya norma-norma demokrasi menyebabkan mudahnya demokrasi memicu konflik politik atau terbajak kepentingan sesaat para elite.

(Baca: Tulisan Prof. Dr. Firman Noor, Demokrasi Indonesia dan arah perkembangannya di Masa Pandemi Covid-19)

Pembungkaman berdemokrasi di negara yang demokrasi ini di era kepresidenan Joko Widodo adalah sesuatu yang tidak bisa dijelaskan lagi. Dari kedua periode ini banyak masyarakat, Organisasi Kepemudaan, Akademisi telah dinilai gila saat menjadi pelaku kritik tersebut. Sesuatu yang telah menjadi sejarah bagi bangsa ini, bahwa pada momentum demokrasi bahkan kehidupan berdemokrasi saat ini bagaikan sedang barada di sudut-sudut ruang sunyi yang siapapun tidak dapat mendengarkan dan mengabaikan. Kita harus lihat ke belakang bahwa semenjak kampanye terbuka oleh Jokowi sebagai pencalonan Presiden pernah berkata “Kalau tidak demo, tidak asik harus selalu memberi kritikan”. Sampai dari sekian masalah mengenai demokrasi tersebut mulai dari para BEM Universitas Indonesia memberi kartu kuning oleh Presiden sampai kritikan melalui gravitasi yang sedang viral Mural yang di lakukan oleh masyarakatnya sendiri di dinding dan masih banyak lagi. Apalagi di masa pandemi covid-19 yang menyebabkan masyarakat dirumahkan. Pembabatan dan pembakaran hutan paru-paru dunia telah dipersekusi habis oleh investor, masalah kemanusiaan atas pelecehan ras Papua (pelanggaran HAM masa lalu), TKA yang merajalela masuk di daerah-daerah Indonesia, revisi undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU-KPK) menjadi dari salah satu dari sekian masalah lain peninggalan periode pertama Joko Widodo, gelombang penolakan tersebut terhadap revisi undang-undang Komisi Pemberantasan Korupsi silih berganti, mulai dari masyarakat awam, pegawai KPK, aktivis anti korupsi, hingga mahasiswa.

Ada sejumlah masalah yang kini dihadapi Pemerintah dan seharusnya juga DPR dengan disahkannya UU Cipta Kerja ini. Pertama adalah penolakan keras dari berbagai kalangan, terutama kalangan pekerja yang menilai Undang-Undang ini sebuah kemunduran yang merugikan kepentingan mereka. Demo besar-besaran yang digerakkan Serikat Pekerja dan didukung elemen lain dalam masyarakat dalam menolak UU Cipta Kerja menambah keadaan yang sudah runyam akibat Pandemi Covid 19 menjadi semakin mengkhawatirkan. Sejumlah akademisi dan aktivis sosial juga mengkritik UU yang proses pembuatannya mereka anggap kurang transparan. Pembahasannya terkesan tergesa-gesa sehingga menabrak undang-undang lain. Undang-Undang ini juga dinilai terlalu banyak mendelegasikan pengaturan lanjutan baik kepada Peraturan Pemerintah maupun kepada Peraturan Presiden. Di samping dari itu ada juga kontradiksi antara masyarakat dengan pemerintah tentang Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) ada beberapa kontroversial yaitu, terkait dengan hukuman mati, makar, pidana terhadap proses peradilan, pasal warisan kolonial, living law dan perda diskriminatif. Masih banyak permasalahan sampai merambat kritikan lewat mural dengan gambar Jokowi telah di hapus dan mencari pelaku tersebut. dari beberapa kasus yang penulis sebutkan tidak saja koruptor yang merasa lebih nyaman dalam melakukan aksinya, tetapi juga para oligarki semakin sulit di bendung. RUU Omnibus Low atau Cipta Kerja jelas akan menguntungkan triple alliance, yakni pengusaha asing, pemerintah dan pengusaha lokal yang dalam bekerjanya saling berkelindan dan tak tersentuh (untouchable) yang akhirnya berpotensi terus memproduksi oligarki baru di tanah air.

Kondisi dan situasi pandemi covid-19 pada polarisasi demokrasi nyatanya tidak ada perubahan. Substansinya adalah kita sebagai masyarakat masih saja menghadapi masalah demokrasi yang selalu sama. Perwakilan dari rakyat semakin tidak kritis dan menjadi tameng dan pendukung para penguasa. Tidak bisa tinggal diam masalah demokrasi di Indonesia yang terlihat krusial merupakan tidak hadinya juga terhadap masyarakat sipil yang tidak kritis untuk mengkritik terhadap kekuasaan, mungkin dengan batasan yang tidak boleh mengkritik sehingga mereka takut kritis? Kita selalu mengalami kekurangan kritis terhadap pemerintah karena mulai dari elemen masyarakat sipil, mulai dari LSM, Organisasi, Kampus, Media sudah bergandeng tangan terhadap pemerintahan saat ini atau sekurang-kurangnya memilih untuk diam demi menghindari “stigma” berpihak kepada kelompok intoleran yang anti-pancasila dan anti-demokrasi. Lepas dari Orde Baru dan menjemput Reformasi kini kampus yang menjadi catatan khusus karena baru pertama kali sejak era reformasi kampus berlomba-lomba merapat bersama kepada kekuasaan. Apalagi lemahnya partai politik yang sebelum di singgung.

Kritik dan Tantangan Demokrasi

Beranjak lebih jauh, sejak memasuki era reformasi konsep bahkan definisi demokrasi kini didengungkan. Hal ini terlihat dari kebebasan berpendapat di kalangan masyarakat dalam mengkritik pemerintah. Salah satu sisi positifnya di saat KH Abdurahman Wahid mencabut larangan ekspresi budaya Tionghoa hal itu menandakan praktek dan prinsip demokrasi pancasila masih selalu diminati oleh bangsa ini. Namun, dilihat dari sisi lainnya era reformasi membawa dilema bagi kalangan masyarakat salah satunya kebebasan berpendapat kerap disalahgunakan sebagai penegasan terhadap identitas kelompok tertentu atas nama mayoritas. Hal tersebut tentunya menjadi suatu permasalahan konkrit bagi bangsa ini dan pada hakekatnya mencederai demokrasi tersebut. kerap terjadi di masa kepemimpinan Joko Widodo saat ini bahwa demokrasi seakan mati karena tidak bisa mengkritisi pemerintah dengan kebijakan-kebijakannya, pada esensinya dilihat dari level pemerintahan dan politik serta kondisi demokrasi di Indonesia pada khususnya dari supremasi hukum juga cukup sangat mengkhawatirkan. 

Selain daripada itu kita harus melihat situasi demokrasi saat ini, banyak yang memanfaatkan isu-isu SARA untuk saling menyerang lawan politik mereka demi mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Oleh karenanya, sangat berpotensi mencederai demokrasi dan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa ini. selain itu di lingkup  sosial, literasi masyarakat tentang prinsip dan hakikat demokrasi juga harus disuarakan. Media massa dan negara melalui sektor pendidikan harus memberikan pendidikan politik dan demokrasi yang baik supaya kebebasan berpendapat dapat diutarakan dengan kritis, santun, dan bertanggungjawab.

Seperti biasanya, tantangan yang paling mungkin bagi demokrasi di negeri ini adalah kekuasaan yang mengarah pada kebijakan model otoritarianisme. Tetapi, kelihatannya seperti sebatas model tantangan yang sudah menjadi alasan klasik, tantangan lainnya menjadi senandung bagi demokrasi saat ini justru berasal dari kalangan bawah, jika ditimbang tantangan yang berasal dari kalangan bawah ini sebenarnya lebih rumit bila di bandingkan dengan tantangan yang berasal di kalangan atas (kekuasaan).

Penulis perlu mengingatkan bahwa di tengah wabah pandemi ini yang selalu mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara dan demokrasi terus-menerus kembali mencuat dengan salah satu permasalahan yang selalu mencuat di era sekarang ini adalah soal suara kritis yang telah kehilangan etisnya dan beralih pada model penghinaan. Tidak lari dari situ, kritikan yang masih ramai diperbincangkan adalah soal mengkritisi kebijakan kekuasaan dan tugasnya kita sebagai rakyat sudah seharusnya mengkritisi jalannya roda pemerintahan setiap kebijakan yang dianggap menyimpang. Bagi penulis kritik itu sangat penting adanya sebagai upaya untuk menyikapi sebuah kekuasaan yang bersifat mendominasi dan represif. Sebagai akibatnya kritik akan selalu meninggalkan cita-cita kebaikan bersama ataukah sekedar memperalat kebaikan bersama untuk memuluskan kepentingan subjektif. 

Bobrok Demokrasi dan Korupsi Merajalela

Di sisi lain bobroknya demokrasi maka pastinya akan merambat para predator pemakan uang rakyat (koruptor). Dikutip dari Say No to Korupsi (2012) karya Juni Sjafrien Jahja, kata korupsi dari bahasa latin corruptio atau corruptus yang berasal dari bahasa latin yang lebih tua corrumpere. Istilah korupsi dalam bahasa Inggris corruption dan corrupt, dalam bahasa Perancis corruption dan  dalam bahasa Belanda corruptie yang menjadi kata korupsi dalam bahasa Indonesia. Henry Campbell Black dalam Black’s Law Dictionary menjabarkan korupsi adalah  perbuatan yang dilakukan dengan maksud memberikan beberapa keuntungan yang bertentangan dengan tugas dan hak orang lain.  Perbuatan seorang pejabat atau seorang pemegang kepercayaan yang bertentangan dengan hukum, secara keliru menggunakan kekuasaannya untuk menempatkan keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bertentangan dengan tugas dan hak orang lain.

Indikator korupsi di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terlihat dari menurunnya skor indeks persepsi korupsi (IPK). Indonesia pada 2020 mengeluarkan Transparency International (TI) negeri ini hanya mengantongi 37 poin, lebih rendah tiga poin dari 2019. TI menggunakan skor 0-100 dalam mengukur IPK. Skor nol menunjukan bahwa sebuah negara sangat korup. Sebaliknya, skor 100 menunjukan sebuah negara sangat bersih dari korupsi. Dengan skor saat ini berarti permasalahan korupsi di Indonesia sangat mengkhawatirkan. Dari 180 negara dunia dalam penilaian TI. IPK bertengger di peringkat ke-102 pada 2020, selevel dengan Gambia dengan skor yang sama. Ini adalah sebuah ironi, mengingat Gambia baru lebih kurang empat tahun lepas dari 22 tahun masa kepemimpinan rezim Yahya Jammeh yang korup. Indonesia sudah 22 tahun mengalami reformasi sejak tumbangnya rezim Soeharto (Presiden kedua Republik Indonesia) pada tahun 1998. Salah satu hasil dari reformasi adalah terbentuknya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang kemudian berubah menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

Banyak sekali presentase kasus korupsi yanga ada di Indonesia yang tidak bisa dibendung, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai salah satu lembaga menangani korupsi telah lemah dalam menjalankan tugas sebagaimana mestinya. Salah satu contoh korupsi di masa pandemi Covid-19 KPK menetapkan mantan Menteri Sosial Juliari Batubara sebagai tersangka kasus dugaan suap bantuan sosial penanganan pandemi Covid-19 untuk wilayah Jabodetabek tahun 2020. Penetapan Juliari saat itu merupakan tindak lanjut atas operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK. Korupsi memang sering terjadi di negara Indonesia, dengan hal itu banyak organisasi kemahasiswaan, LSM, bahkan masyarakat sipil telah mempresur untuk meneriaki pemerintahan supaya bisa menangani korupsi di negeri ini. Lebih mirisnya lagi bahwa hukuman pada pelaku korupsi tidak sebanding dengan apa yang di lakukannya. Hal ini, tidak berbanding lurus pembahasannyan mengenai hukum di Indonesia yang konon katanya tumpul ke atas tajam ke bawah. Di samping dari itu, penulis telah menjadikan kasus korupsi terbesar di Indonesia telah bernilai besar nilainya anggaran yang di korupsi senilai Rp.23,7 Triliun membuat kasus yang terjadi di PT asuransi sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero)atau Asabri menjadi terbesar di Se-Indonesia. Hal itu dinyatakan langsung oleh Kejaksaan Agung.

Praktik-praktik tindak pidana korupsi hampir setiap hari diterbitkan oleh media massa. Kenyataan praktik korupsi yang terjadi di Indonesia bukan hanya melibatkan personal, tetapi juga instansi politik dan hukum. Fakta empiris dari hasil penelitian di banyak negara dan banyak dukungan teoritik oleh para saintik menunjukan bahwa korupsi berpengaruh negatif terhadap rasa keadian sosial dan kesetaraan sosial. Korupsi menyebabkan perbedaan yang tajam diantara kelompok sosial dan individu baik dalam hal pendapatan, prestis, kekuasaan, dan lain-lain. Tindak pidana korupsi itu tergolong ke dalam kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Tindak pidana korupsi termasuk ke dalam golongan tindak pidana khusus sehingga memerlukan langka-langka yang khusus untuk memberantasnya. (sumber: Merdeka.com).

Hukuman tindak pidana korupsi di Indonesia bisa dikatakan naif, karena hukumannya ringan pada pelaku, hal ini sudah di lihat dari beberapa kasus sebelumnya. Selepas dari itu, Gusdur saat menjabat sebagai Presiden RI ingin membubarkan kementerian Sosial karena biang keroknya korupsi, hal ini tidak disetujui banyak pihak tetapi sekarang sudah terbukti salah satu kasusnya yaitu korupsi soal Bantuan Sosial (Bansos) di masa pandemi covid-19. Dan masih banyak lagi korupsi dari masa ke masa yang menjadikan negara Indonesia sebagai salah satu negara terkorup di dunia. Hal yang paling tidak urgensi dan tidak di inginkan kita bersama. Apalagi di masa pandemi Covid-19 ini penilaiannya pemerintah telah berbisnis dengan rakyat untuk menunjang krisis ekonomi. 

Pemerintah boleh berganti rezim, berganti pemimpin, namun rakyat Indonesia menginginkan pemimpin yang benar- benar berkomitmen besar dalam dalam pemberantasan korupsi. Harapan dan keinginan kuat untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari korupsi telah disandarkan di pundak pemimpin baru yang akan datang. Kemauan politik kuat yang ditunjukan untuk mendukung lembaga pemberantasan korupsi di negeri yang nantinya alan dicatat sebagai sejarah baik atas atas panjangnya upaya pemberantasan korupsi yang selama ini sudah dilakukan. Semoga sajaaaa!!

Sudah Tajir, Kok Rakus? 

Kerap kali penulis tidak menggunakan kata (korupsi) pada bagian ini karena hal ini sangat sopan untuk mengungkapkan kata korupsi,  berdasarkan Undang-Undang No 20 tahun 2021 korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korupsi yang berakibat merugikan negara atau perekonomian negara. Kejahatan ini, sudah tidak asing lagi kita lihat di televisi, media sosial, media cetak soal informasi pencuri uang rakyat, hal itu tidak lain dan tidak bukan dilakukan manusia serakah yang kaya dan tidak merasa cukup semasa hidupnya. Pencuri uang rakyat masih menjadi benang kusut negeri ini. yang menyedihkan mereka sudah tajir atau kaya, gajinya sudah besar, fasilitas terpenuhi sehingga anggaran negara siap dikorbankan. 

Pencuri uang rakyat pun terjebak hasrat yang tidak bisa terkontrol, yang terjadi mungkin tidak ada kontrol keinginan diri sehingga semakin banyak kekayaan yang dikumpulkan, namun kepuasaan seseorang yang serakah tidak adanya. Apalgi prentase pencuri uang rakyat di Indonesia semakin hari semakin meningkat, tetapi para pejabat elite atau orang kaya ini tidak memiliki rasa malu saat mencuri. Praktek seperti ini dia terstruktur bukan pada individu saja tetapi kaitannya dengan kelompok untuk melakukan kejahatan tersebut. Apalagi yang lainnya terlihat alim dan berpenampilan agamais, tetapi berbanding terbalik dengan kelakuan mereka padahal sebelum mereka menjalankan tugas negara sudah diberi sumpah untuk menjunjung tinggi dan memperjuangkan hak rakyat.

Apalagi lembaga yang tugasnya memberantas korupsi atau para pencuri uang rakyat yakni Komisi Pemberantasan Korupsi saat ini iming-iming nya sudah tidak tajir lagi untuk mengemban tanggung jawabnya.  Adapun dari psikologi yang menilai seorang pencuri uang rakyat biasa memiliki kepribadian independen aktif atau antisosial. Independen aktif dan antisosial dengan IQ yang tinggi menjadi tipe kepribadian awal seseorang yang akan memperkuat mereka untuk melakukan korupsi. Sudah banyak orang yang kaya raya di zaman Orde Baru atau Pasca Reformasi yang ternyata melakukan korupsi.  Karena beberapa penyebab sehingga terjadinya korupsi ialah; Ringannya hukuman terhadap pelaku korupsi, pejabat yang serakah, pengawasan tidak efektif, tidak berjalannya penegak hukum. Sehingga harus cara memberantas korupsi; Memberikan hukuman yang sangat berat pada pelaku, pemimpin yang berintegritas, bangun pendidikan moral sejak masa kecil, serta supremasi hukum yang kuat.

Referensi


Colin Crouch 2004.  Post DemocracyISBN 0-7456-3315-3.

Campbell Black, Henry. (1860-1927). Black's Law Dictionary. West (Thomson Reuters)


Dikutip Merdeka.com. 24 November 2020. Ketahui Penyebab Korupsi di Indonesia dan Tantangan dalam Pemberantasannya.

Juni Sjafrien Jahja. 2012. Say No to Korupsi; Jakarta. VisiMedia ISBN: 978-979-065-146-3.

Noor, Firman. 2020. Demokrasi Indonesia dan arah perkembangannya di Masa Pandemi Covid-19. LIPI, Pusat Penelitian  Politik “The Center for Political Studies.

Share:
Komentar

Berita Terkini